"Lakukanlah
/ Pilihlah / Ambilah / ... yang sesuai dengan kehendak
Tuhan, karena kehendak Tuhan itu pasti yang terbaik". Kalimat saran ini
sering sekali kita terima bahkan kita ucapkan untuk orang yang sedang
ingin mengambil keputusan atau tindakan.
Lalu tidak
jarang juga responnya "Itu dia, gimana caranya kita tahu mana yang
kehendak Tuhan dan mana yang bukan?". Kalau seandainya disuruh pilih
korupsi atau jujur? tentu kita tau mana yang kehendak Tuhan, tapi
bagaimana jika pilihannya bukan tentang taat atau langgar?
Seberapa
sering kita berada dalam kondisi "Mencari kehendak Tuhan" ketika
pilihannya "kiri atau kanan?, Maju atau diam?, Ambil atau simpan?,
Lepaskan atau perjuangkan?, Pergi atau Tinggal?, Terima atau tolak?,
Putus atau
lanjut?" ehhhhh . Bukan pilihan yang sudah pasti kita tahu salah atau benar, tapi pilihan
yang sama sekali tidak mampu kita ketahui akan dibawa pada kehidupan
seperti apakah kelak setelah kita ambil salah satu dari apa yang menjadi
pilihan kita.
Atau
mungkin dalam hal sederhana, postingan media sosial misalnya,
pernahkah kita mempertanyakan ini sebelum kita post sesuatu di akun media sosial kita? : "Posting gak yaaaa?", Pernahkah kita
bertanya "Apakah posting 'ini' di (IG, FB, Path, dll) adalah kehendak
Tuhan?".
Berbicara tentang kehendak Tuhan rasanya memang cukup sulit untuk dipahami. Ada yang bilang : "Kalau kita dekat dengan Tuhan kita pasti tau mana kehendak Tuhan", Bahkan ada yang lebih ekstrim berkata : "Kalau kita dekat dengan Tuhan, keinginan kita akan selalu mengarah pada kehendak Tuhan", tapi sayangnya jawaban ini malah memunculkan pertanyaan lain : "Bagaimana kita mengukur apakah kita dekat atau jauh ? Seberapa dekatkah kita, sampai keinginan kita selalu mengarah pada kehendak Tuhan?"
Berbicara tentang kehendak Tuhan rasanya memang cukup sulit untuk dipahami. Ada yang bilang : "Kalau kita dekat dengan Tuhan kita pasti tau mana kehendak Tuhan", Bahkan ada yang lebih ekstrim berkata : "Kalau kita dekat dengan Tuhan, keinginan kita akan selalu mengarah pada kehendak Tuhan", tapi sayangnya jawaban ini malah memunculkan pertanyaan lain : "Bagaimana kita mengukur apakah kita dekat atau jauh ? Seberapa dekatkah kita, sampai keinginan kita selalu mengarah pada kehendak Tuhan?"
Tidak
hanya tentang pilihan yang belum kita tahu benar atau salah, kita juga
sering menghadapi pilihan yang sudah jelas kita pahami sebagai kehendak
Tuhan namun tetap sulit untuk memilih, misal: "Tolong atau abaikan?, bergosip
atau diam? Mencela atau mengasihi?, Maafkan atau benci?, Berkata kasar
atau berkata bijak?"
Yah
begitulah, katanya hidup selalu menawarkan banyak pilihan. Entah itu
pilihan yang sudah jelas dapat dibedakan sebagai baik atau buruk, atau
semua baik namun kita tidak tahu mana yang benar. Apapun itu, kehendak Tuhan-lah yang benar untuk dipilih.
Tapi bagaimana kita tahu dan akhirnya mampu bertindak dengan penuh keyakinan melakukan kehendak Tuhan?
Roma 12 : 1 - 2Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.
Ayat ini sepertinya sedang mengarahkan kita bagaimana caranya memahami kehendak Tuhan.
Mempersembahkan hidup kita -- Tidak serupa dengan dunia (Galatia 5 : 19 - 21) -- Mengalami pembaharuan budi (Mau berubah) → Dapat membedakan manakah kehendak Allah.
Mempersembahkan
diri artinya kita memberikan seluruh hidup kita untuk Tuhan, kesenangan
kita bukan lagi tentang kesenangan yang dunia ajarkan, bukan lagi
tentang keinginan lahiriah yang fana dan akan binasa, tapi tentang hidup
yang memuliakan Tuhan.
Mungkin praktisnya, ketika kita diperhadapkan dengan pilihan, kita bisa mengajukan pertanyaan pada diri kita sebelum mengambil tindakan:
Mungkin praktisnya, ketika kita diperhadapkan dengan pilihan, kita bisa mengajukan pertanyaan pada diri kita sebelum mengambil tindakan:
- Apakah pilihan yang akan kita ambil itu membuat dunia memandang pada kemuliaan Tuhan? atau membuat dunia memandang keberadaan kita?
- Siapakah fokus dalam setiap keputusan yang kita ambil? Tuhan? atau keinginan daging kita?
- Apakah tindakan kita membuat dunia memuliakan Tuhan? Atau malah mempermalukan Tuhan?
Bukankah ketika kita mengaku "sudah lahir baru", artinya kita mengakui bahwa bukan kita lagi yang hidup? Manusia lama kita telah mati dan kita hidup dalam Kristus yang hidup dalam hati kita. Siapakah yang mau kita senangkan?
Padahal
kalau memang Kristus tinggal dalam hati kita, dalam hidup kita
(Gal 2:20) tentu ketika kehidupan kita menyenangkan Tuhan, kita pun ikut
berbahagia di dalam Tuhan. Tapi seringkali kita membalikan keadaannya,
kita mengejar kesenangan kita dan berdalih Tuhan pun pasti senang
tapi secara tidak langsung kita sedang mengabaikan Tuhan lalu berakhir
dengan kekecewaan.
Setelah
belajar ini, mungkin pilihannya sekarang bukan lagi "Manakah kehendak
Allah?" tapi "Maukah kita mempersembahkan hidup kita sebagai persembahan
yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah?". Menjadikan
Tuhan sebagai fokus utama dalam setiap tindakan kita. Kehendak Tuhan
selalu yang terbaik, dan hanya di dalam tangan Tuhan saja kita aman.

